KONSEP KETUHAN-AN DALAM ISLAM

KONSEP KETUHAN-AN DALAM ISLAM

Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu). Perkataan “dipentingkan” hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi Al-Ilah sebagai berikut : 
Al-Ilah ialah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya.

Dalam konsep islam, Tuhan dinamakan ‘Allah’ dan diyakini sebagai zat Yang Nyata, Yang Esa, serta Yang Maha Segalanya. Kata ‘Allah’ dalam Al-Qur’an merupakan sebutan khusus dan tidak dipunyai oleh kata lain selain-Nya dikarenakan hanya Tuhan Yang Maha Esa yang berhak menyandang nama tersebut. Dengan demikian nama ‘Allah’ sejatinya identik dengan Tuhan dalam islam. Lebih lanjut, selain nama, islam juga menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (Tauhid). Secara etimologis, Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan ‘Al’ dan ‘Ilah’. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Tuhan yang Satu. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa semitik, dan dalam hal ini, istilah Arab ‘Allah’ atau Al-Ilah terkait dengan ‘El’ dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.

Tuhan, dalam agama islam juga memiliki 99 nama (Berupa nama baik/predikat) yang dikenal dengan Asma’ul Husna. Nama-nama ini juga mengingatkan bahwa setiap sifat-sifat Tuhan tidak hanya satu. Diantara 99 nama ‘Allah’ tersebut, yang sangat terkenal dan sangat sering dipergunakan adalah nama ‘Ar-Rahman’ (Maha Pengasih) dan ‘Ar-Rahim’ (Maha Penyayang). 

Sifat-sifat Tuhan dalam islam tidak hanya apa yang ada dalam Asma’ul Husna, namun juga Tuhan yang memiliki sifat yang (Sangat) personal. Ke-personal-an Allah, digambarkan dengan kedekatan yang lebih dekat daripada urat nadi manusia sendiri. Ia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Dalam islam, nama ‘Allah’ juga dipadankan dengan terminologi ‘Rabb’, ‘Ilah’, serta sifat dan nama Allah (Shifatillah wa Asma’ullah).

Agama islam adalah agama yang mengenalkan Tuhan dengan melalui isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Kata ‘Allah’ dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 2.697 kali. Belum lagi kata-kata semacam Wahid, Ahad, Ar-Rabb, Al-Ilah, atau kalimat yang meniscayakan tidak adanya sekutu bagi-Nya, dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya, serta penegasan lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid. Uraian Al-Qur’an tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad dimulai dengan pengenalan tentang dan sifat-Nya. Ini terlihat jelas pada saat wahyu pertama kali turun.

Hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini, meskipun diakui bahwa mereka mempercayai adanya banyak Tuhan. Satu hal yang pasti, manusia tidak seharusnya menjadi Atheist, karena berdasarkan logika Al-Qur’an disebutkan bahwa setiap manusia mesti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Jauh sebelum islam datang, ditemukan bahwa hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan. Keyakinan ini juga merambah masuk ke masyarakat Arab, walaupun jika ditanya “Siapa penguasa dan pencipta langit dan bumi?” Mereka menjawab “Allah”, tetapi pada saat yang sama mereka menyembah berhala. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disebut kaum beriman, mereka disebut kaum yang mempersekutukan Tuhan.

Kemudian islam datang untuk meluruskan keyakinan itu dengan membawa ajaran tauhid, menjadi penyibak ajaran yang total dan menyeluruh tentang Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut Allah. Islam mencoba menampilkan dan menggambarkan kepada manusia tentang ajaran keseluruhan ‘watak’ Tuhan yang memungkinkan bahasa manusia dapat memahaminya. Islam adalah agama penghambaan kepada Allah, realitas tertinggi, asal muasal seluruh realitas, dan kepada siapa semua kembali, karena Allah adalah asal, pencipta, pengatur, pemelihara, dan akhir alam semesta.

Sebuah pertanyaan pertama yang perlu diutarakan adalah, “Mengapa manusia harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa mereka tidak membiarkan alam beserta berbagai proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa perlu meyakini adanya yang lebih tinggi daripada alam, yang hanya merumitkan realitas serta memberatkan akal pikiran dan jiwa manusia?”

Al-Qur’an mengatakan, “Keyakinan kepada yang lebih tinggi daripada alam itu sebagai kesadaran terhadap yang ghaib” (QS. Al-Baqarah 5:94). Bagi orang-orang yang suka merenunginya, eksistensi Tuhan itu dapat mereka pahami, sehingga eksistensi-Nya tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang irrasional dan tidak masuk akal, tetapi berubah menjadi Kebenaran Tertinggi.

Yang menjadi masalah disini bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti yang ‘theologis’ yang pelik dan panjang lebar mengenai eksistensi Tuhan, tetapi bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Dengan kata lain, bahwa semua ciptaan Tuhan (Alam dan seluruh isinya termasuk manusia) seharusnya membuat manusia semakin mengenal penciptanya dan berusaha semakin dekat dengan-Nya. Sehingga kemanapun mereka memalingkan wajahnya, dia tetap berkata “Tiada Tuhan selain Allah”.

Meskipun secara eksistensial manusia sadar dan mengakui adanya Tuhan, namun secara substansial manusia tidak mungkin mengetahui sosok Tuhan. Relevan dengan ini, adalah kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim, seperti yang disebutkan dalam QS. An-’am 6:75-79, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkan) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam’. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat’. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar’. Maka tatkala matahari itu tenggelam dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’”.

Kisah di atas memberikan pelajaran, betapa sesungguhnya manusia telah memiliki kesadaran terdalam terhadap eksistensi Tuhan. Tetapi, ketika manusia mencoba untuk ‘memperjelas’ siapa (substansi) Tuhan, seperti Ibrahim yang mengira bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan, maka pasti akan menemui kegagalan. Oleh karena itu, penjelasan yang bisa diterima adalah bahwa manusia tidak akan pernah tahu siapa Tuhan itu, jika hanya berdasarkan logika dan perasaannya sendiri, sebagaimana logika dan perasaan Ibrahim yang pernah menganggap matahari sebagai Tuhan karena matahari itu besar dan mampu menerangi jagat bumi. Jika manusia tetap memaksa untuk menemukan Tuhan dengan akalnya, maka pasti Tuhan yang ditemukannya itu palsu. Dalam bahasa lain, barangsiapa merasa mengetahui Tuhan, maka sesungguhnya justru pertanda bahwa ia tidak mengetahui apa-apa.

Ibn Arabi berkata dalam sebuah syair : “Barangsiapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan dirinya dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah itu sendiri, maka waspadalah, sebab yang sadar diantara kamu tentulah tidak seperti yang alpa. Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma’rifat. Begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian kepada-Nya tidak terbilang. Dia adalah Maha Suci, maka jauhilah bagi-Nya buat perbandingan” (Ibn Arabi, t. th : 270).

Lantas bagaimana manusia mengenal Tuhan? Jawabannya adalah, ketika Tuhan sendiri yang memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Disinilah kita akan memahami fungsi malaikat, wahyu, dan rasul. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Siapa Tuhan’, ‘Apa mau-Nya’, ‘Bagaimana ciptaan-Nya’, ‘Apa yang diperbolehkan-Nya’, atau ‘Apa yang dilarang-Nya’ hanya dapat dicari jawabannya lewat informasi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang dimaksud dengan (fungsi) wahyu; yang wahyu itu disampaikan oleh Tuhan melalui malaikat (Jibril) kepada rasul untuk kemudian diteruskan kepada segenap manusia. Tentang ‘Siapa Tuhan’ misalnya, Allah telah memberikan informasi dalam Al-Qur’an :

“Sesungguhnya aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain aku. Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku” (QS. Thaha, 20:24).

Daftar Pustaka :
1. Filosofis Ketuhanan dalam Konsep Islam Menuju Ketauhidan, Wahyudin IAIN Metro
2. Konsep Al-Rububiyah (Ketuhanan) Dalam Al-Qur’an, Firdaus, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
3. ⁠Pendidikan Agama Islam, Firdaus Yuni Dharta
4. ⁠Basis Teologis Untuk Pluralisme Beragama; Menimbang Pandangan Kaum Sufi dalam Memahami Tuhan, Imam Hanafi, Hasbullah & Yusuf Ahmad

Postingan populer dari blog ini

Materi Tik Pertemuan 2 Kelas 11 Semester 1

Menggunakan Perangkat Lunak Microsoft Word